Visi Misi
Visi
Visi Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia adalah menjadikan program studi yang berbasis penelitian
bertaraf internasional yang responsif terhadap perubahan dan berorientasi
kepada kepentingan rakyat berdasarkan Pancasila.
Misi
Misi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia adalah:- meningkatkan kualitas pendidikan bahasa dan sastra Indonesia tingkat sarjana ke taraf internasional;
- mengembangkan penelitian bahasa dan sastra Indonesia yang mendukung pendidikan;
- menyelenggarakan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia berbasis pe¬nelitian;
- mengembangkan pendidikan dan penelitian bahasa dan sastra Indonesia yang berorientasi kepada terbentuknya masyarakat yang multikultural;
- mengembangkan penelitian bahasa dan sastra Indonesia yang kontekstual.
Makassar, 28 Oktober 2011 pukul 21:29 WITA
BAHASA INDONESIA DAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
Bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi sekaligus merupakan Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian dengan tujuan mengembangkan kompetensi mahasiswa terutama dalam
penulisan ilmiah yang mencakup kemampuan kognitif dan afektif.
Untuk itu,
diperlukan bahan-bahan yang memadai untuk dijadikan acuan dasar bagi para
mahasiswa dan dosen yang mengajarkan mata kuliah ini.
Bahasa juga
merupakan sarana untuk mengembangkan pengetahuan dan menimba ilmu bagi para
mahasiswa.
Dengan penguasaan
bahasa Indonesia yang baik, mahasiswa dapat berkembang menjadi insan yang
cerdas, berkepribadian, berkarakter, dan mampu mengembangkan kreativitas baru
berdasarkan bidang studi, keahlian, dan profesi yang ditekuninya.
Pengarang: Widjono
Hs.
Tahun: 2011
ISBN: 9789790814615
Kategori: Humaniora, Pendidikan, Non Fiksi, Bahasa & Sastra, Pengembangan Diri, Perguruan Tinggi,
Tahun: 2011
ISBN: 9789790814615
Kategori: Humaniora, Pendidikan, Non Fiksi, Bahasa & Sastra, Pengembangan Diri, Perguruan Tinggi,
http://www.grasindo.co.id/index.php?mib=buku.detail&id=260
Makassar, 28 Oktober 2011 pukul 22:12 WITA
SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
I.
Sejarah
Bahasa Indonesia
Perkembangan
bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa asalnya atau akar bahasa
Indonesia, yakni bahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika kita membicarakan
bahasa Indonesia, hal yang berkaitan dengan bahasa Melayumenjadi penting untuk
dibicarakan.
Pada tahun 1924 Dr. G.F. Pijper, pakar bahasa dari Belanda, menyatakan bahwa bahasa Melayu tampaknya “ditakdirkan” akan menjadi bahasa kebudayaan Indonesia (Usman, 1970:89). Baik dilihat dari sejarahnya, susunannya, maupun dari segi bentuk kalimatnya, bahasa Melayu sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahasa kebudayaan di seluruh kepulauan Nusantara.
Pada tahun 1924 Dr. G.F. Pijper, pakar bahasa dari Belanda, menyatakan bahwa bahasa Melayu tampaknya “ditakdirkan” akan menjadi bahasa kebudayaan Indonesia (Usman, 1970:89). Baik dilihat dari sejarahnya, susunannya, maupun dari segi bentuk kalimatnya, bahasa Melayu sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahasa kebudayaan di seluruh kepulauan Nusantara.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah sejak kapan bahasa Melayu mulai digunakan sebagai
alat komunikasi? Menurut Usman (1975:5), bahasa Melayu digunakan sebagai alat
komunikasi sejak nenek moyang kita pada abad ke-9 S.M. menginjakkan kaki di
salah satu pulau-pulau besar yang lebih dekat ke pantai Asia, yaitu Sumatra
atau Kalimantan. Berbeda dengan pendapat Usman, Halim—sebagaimana dikutip oleh
Arifin (1995:3)—menyatakan bahwa bahasa Melayu, dalam bentuk bahasa Melayu kuna,
baru digunakan sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya sekitar abad ke-7
M. Bukti yang dikemukakan oleh Halim adalah ditemukannya berbagai batu tertulis
(prasasti), misalnya Prasasti Kedukan Bukit di Palembang (tahun 683), Prasasti
Talang Tuo di Palembang (tahun 684), Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (tahun
686), dan Prasasti Karang Brahi di antara Jambi dan Sungai Musi (tahun 688).
Berbagai prasasti tersebut bertulis Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Melayu
kuna. Selain ditemukan di Pulau Sumatra, beberapa prasasti lain yang
menggunakan bahasa Melayu kuna juga ditemukan di Pulau Jawa, misalnya Prasasti
Gandasuli (tahun 832) di Jawa Tengah dan Prasasti Bogor (tahun 942) di Bogor,
Jawa Barat. Penemuan berbagai prasasti di Pulau Jawa itu membuktikan pula bahwa
bahasa Melayu (kuna) tidak saja digunakan sebagai alat komunikasi di Pulau
Sumatra, tetapi juga di Pulau Jawa.
Adanya berbagai petunjuk tersebut dapat dinyatakan diperkirakan pula bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai berikut.
Adanya berbagai petunjuk tersebut dapat dinyatakan diperkirakan pula bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai berikut.
1.
Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yakni sebagai bahasa pada
kitab-kitab yang berisi aturan bermasyarakat dan dipakai dalam karya sastra.
2.
Bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi atau bahasa perhubungan luas
(lingua franca), baik antarsuku di kepulauan Nusantara maupun dengan bangsa
asing.
3.
Bahasa Melayu menjadi bahasa perniagaan, terutama di sepanjang pantai.
4.
Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan Sriwijaya.
Berkaitan dengan butir 2, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) karena, menurut Usman (1970:23), lebih sederhana dan lebih demokratis jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Di samping itu, letak geografis Melayu (kepulauan-kepulauan yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu) sangat strategis sebagai pusat lalu lintas perdagangan
Berkaitan dengan butir 2, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca) karena, menurut Usman (1970:23), lebih sederhana dan lebih demokratis jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Di samping itu, letak geografis Melayu (kepulauan-kepulauan yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu) sangat strategis sebagai pusat lalu lintas perdagangan
dan
kebudayaan.
Sumpah
Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan peristiwa yang
sangat penting, antara lain, dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa Melayu dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Putusan atau ikrar yang dibacakan pada peristiwa tersebut yang sejak
tahun 1878 selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda dan sekaligus
dijadikan sebagai Hari Pemuda antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama
: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia.
Kedua
: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jika
dicermati, putusan Kongres Pemuda tersebut berisi tiga butir kebulatan tekad
yang saling berkaitan. Butir pertama adalah pengakuan terhadap tanah air yang
satu dengan ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut sebagai satu kesatuan.
Butir kedua adalah pengakuan bahwa manusia Indonesia dengan berbagai suku yang
menempati tanah air Indonesia merupakan satu kesatuan yang disebut dengan
bangsa Indonesia. Butir ketiga adalah pernyataan kebulatan tekad dari bangsa
yang satu yang menempati tanah air yang satu, Indonesia, untuk menjunjung
bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Makna yang dikandung dalam pernyataan
tersebut adalah bukan pengakuan “berbahasa satu” sehingga keberadaan bahasa
daerah lain masih diakui yang kedudukannya berada di bawah bahasa Indonesia.
Dengan adanya ikrar tersebut, resmilah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia
yang kedudukannya sebagai bahasa nasional. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa
Indonesia secara konstitusional—seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV,
Pasal 36—dikukuhkan sebagai bahasa negara.
Pertanyaan
yang menarik, mengapa bahasa Melayu pada tahun 1928 tersebut dijadikan sebagai
bahasa persatuan atau bahasa nasional? Mengapa bukan bahasa Jawa yang jumlah
penuturnya paling banyak? Mengapa bukan pula bahasa Sunda yang secara geografis
lebih dekat pusat pemerintahan?
Bahasa
Melayu dipilih oleh para pemuda pada Kongres Pemuda untuk dijadikan sebagai
bahasa persatuan—bahasa Indonesia—karena dianggap telah memenuhi beberapa
kriteria yang bersifat objektif, yang antara lain meliputi jumlah penutur, luas
persebaran, dan peranannya di bidang ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
Ketiga kriteria tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan atau
saling mendukung.
Pertama,
jika hanya diukur dari jumlah penutur “asli”, penutur bahasa Melayu tidak
sebanyak penutur bahasa Jawa. Namun, jika jumlah penutur “asli” bahasa Melayu
ditambah dengan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa kedua, jumlah penutur bahasa Melayu menduduki peringkat pertama. Kedua,
dalam hal luas persebaran, bahasa Melayu menduduki urutan terdepan, yang secara
implisit tampak dari penuturnya yang bukan hanya penutur asli (sebagai bahasa
kedua). Sebagai masyarakat maritim dan pedagang, bangsa Melayu banyak melakukan
perniagaan dan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Konsekuensi logisnya,
bahasa mereka pun (bahasa Melayu) dipelajari pula oleh suku bangsa lain. Dengan
demikian, karena bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan luas (lingua franca)
yang digunakan dalam perniagaan, bahasa Melayu tersebar hampir di seluruh
kepulauan Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai. Ketiga, masih berkaitan
dengan alasan atau kriteria pertama dan kedua, bahasa Melayu juga memiliki peranan
yang besar sebagai sarana pengungkap ilmu, budaya, dan sastra. Di samping
berniaga, bangsa Melayu juga menyebarkan agama yang dianutnya (Islam).
Persebaran agama itu diikuti pula oleh persebaran kepustakaan atau ilmu tentang
Islam ke dalam kepustakaan budaya yang dikunjunginya. Misalnya, kepustakaan
Islam kejawen sangat dipengaruhi oleh kepustakaan Melayu pada masa Sultan
Iskandar Muda dari Pasai.
Di
samping ketiga kriteria di atas, terdapat sebuah alasan politis dan sebuah
alasan praktis bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional. Alasan
politisnya adalah bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak mengenal tingkatan
berbahasa (tingkat tutur), seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa. Dengan
sifatnya yang demokratis tersebut sangat cocok digunakan sebagai bahasa
“perjuangan”. Karena itu pula, para tokoh pergerakan dari Jawa—terutama yang
tergabung dalam Syarikat Islam yang pernah menganjurkan penghapusan ragam krama
dalam bahasa Jawa—sangat mendukung dikukuhkannya bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan. Adapun alasan praktisnya adalah karena bahasa Melayu lebih mudah
dipelajari, sistem tata bahasanya lebih sederhana, dan tidak mengenal ragam
halus (krama) dan kasar (ngoko) sehingga mempunyai kesanggupan pula sebagai
bahasa iptek.
Dengan adanya beberapa alasan tersebut, bahasa Melayu memiliki potensi yang kuat untuk mengikat atau mempersatukan antarsuku yang berada di Nusantara yang memiliki beratus-ratus bahasa daerah. Dalam kenyataannya, berbagai suku di Indonesia tersebut menerima secara suka rela bahasa Melayu dikukuhkan sebagai bahasa bahasa persatuan dan bahasa nasional demi kepentingan pergerakan nasional.
2. Kedudukan Bahasa Indonesia
Dengan adanya beberapa alasan tersebut, bahasa Melayu memiliki potensi yang kuat untuk mengikat atau mempersatukan antarsuku yang berada di Nusantara yang memiliki beratus-ratus bahasa daerah. Dalam kenyataannya, berbagai suku di Indonesia tersebut menerima secara suka rela bahasa Melayu dikukuhkan sebagai bahasa bahasa persatuan dan bahasa nasional demi kepentingan pergerakan nasional.
2. Kedudukan Bahasa Indonesia
Pada
butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda dinyatakan bahwa Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kata menjunjung
mempunyai arti ‘membawa di atas kepala’. Hal itu menunjukkan, seperti telah
disinggung di depan, bahwa bahasa Indonesia mempunyai kedudukan di atas
bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, Sumpah Pemuda telah menempatkan bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang menjadi lambang kebulatan
semangat kebangsaan Indonesia.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara legal konstitusional dikukuhkan
sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36,
yang berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Dasar hukum itu
memberikan landasan yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia, bukan
saja sebagai bahasa nasional, melainkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi yang sangat mendasar dalam konteks berbangsa dan bernegara. Berikut dipaparkan berbagai fungsi yang disandang oleh bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukannya.
3. Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi yang sangat mendasar dalam konteks berbangsa dan bernegara. Berikut dipaparkan berbagai fungsi yang disandang oleh bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukannya.
3. Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai
berikut.
1.
Sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahasa Indonesia mencerminkan
nilai-nilai sosial budaya yang mendasari kebangsaan kita. Dengan bahasa itu
bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dijadikan
sebagai pegangan hidup. Atas dasar itu pula bahasa Indonesia dipelihara dan
dikembangkan untuk memupuk rasa kebanggaan bagi pemakainya.
2.
Sebagai lambang jati diri (identitas) nasional. Artinya, bahasa Indonesia
dijunjung sejajar dengan bendera dan lambang negara Indonesia. Di dalam
melaksanakan fungsi itu, bahasa Indonesia harus mempunyai identitas sendiri
sehingga bahasa itu serasi dengan lambang kebangsaan yang lain. Hal itu dapat
dicapai apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkan bahasa
Indonesia.
3.
Sebagai alat pemersatu bangsa. Artinya, dengan bahasa Indonesia, bangsa
Indonesia yang berbeda latar belakang sosial budaya, suku, agama, dan bahasanya,
dapat dipersatukan ke dalam satu kebangsaan Indonesia tanpa harus meninggalkan
identitas kesukuan, seperti nilai-nilai sosial budaya lokal dan bahasa daerah
masing-masing suku bangsa.
4.
Sebagai alat perhubungan antarwarga, antarbudaya, dan antardaerah. Artinya,
bahasa Indonesia merupakan sarana komunikasi yang tepat untuk menghubungkan
suku-suku yang berbeda bahasa daerahnya.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai berikut.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai berikut.
1.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan atau pemerintahan. Oleh karena itu, dalam
situasi formal kenegaraan (upacara kenegaraan, kunjungan kenegaraan, atau
sidang kenegaraan), mutlak digunakan bahasa Indonesia.
2.
Sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian,
bahasa Indonesia secara resmi digunakan dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi
lembaga pendidikan khusus bahasa asing diperkenankan menggunakan pengantar
berbahasa asing tersebut. Demikian pula bagi SD kelas 1 sampai dengan kelas
tiga di wilayah yang masih kuat pemakai bahasa daerahnya diperkenankan pula
untuk menggunakan pengantar berbahasa daerah.
3.
Sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.
4.
Sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan serta pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Sesuai dengan itu, bahasa Indonesia merupakan
satu-satunya alat yang memungkinkan dilakukannya pembinaan dan pengembangan
kebudayaan nasional sehingga dapat memiliki ciri-ciri atau identitas sendiri.
Oleh ;Sastra Jogja
Makassar, 27 Oktober 2011 pukul 13:19 WITA